Kamis, 09 Agustus 2012

Sejarah Puasa


Tidak sedikit orang yang menjalankan ibadah puasa tapi tidak mengetahui sejarah berpuasa. Untuk melengkapi cakrawala pengetahuan, berikut saya sajikan tulisan tentang sejarah puasa. Semoga bermanfaat. Salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang paling terkenal tentang rukun Islam adalah yang berbunyi : Islam didirikan atas 5 perkara:
  1. Bersyahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya.
  2. Mendirikan shalat.
  3. Menunaikan zakat.
  4. Berpuasa di bulan Ramadhan.
  5. Melaksanakan haji bagi yang mampu.

Hadits tersebut sangat populer di kalangan muslim karena menjadi tiang atau dasar bagi sendi-sendi syariat Islam. Selain karena menjadi tiang, alasan kepopuleran lainnya adalah karena Nabi Muhammad SAW menjelaskan rukun-rukun itu ketika malaikat Jibril yang menjelma menjadi seorang pemuda menanyakannya. Kata Ramadhan berasal dari akar kata dasar r-m-dl, atau ra-mi-dla yang berarti 'panas' atau 'panas yang menyengat'. Kata itu berkembang sebagaimana biasa terjadi dalam struktur bahasa Arab– dan bisa diartikan menjadi 'panas', atau 'sangat panas', atau dimaknai 'hampir membakar'. Jika orang Arab mengatakan Qad Ramidla Yaumunâ, maka itu berarti 'hari telah menjadi sangat panas'. Ar-Ramadlu juga bisa diartikan 'panas yang diakibatkan sinar matahari'. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Ramadlân adalah salah satu nama Allah SWT. Tetapi pendapat ini lemah karena tidak memiliki argumentasi literal.
Demikianlah istilah bulan Ramadhan diambil dari kalimat ramidla-yarmadlu, yang berarti 'panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus'. Keterangan-keterangan tentang lafadz Ramadhan ini disampaikan oleh Muhammad bin Abû Bakar bin Abdul Qadir Al-Razi [w. 721 H.] dalam kamus Mukhtaru-sh-Shihhah dan Muhammad bin Mukarram bin Mandzur Al-Mashri [630-711 H.], yang terkenal dengan sebutan Ibnu Mandzur, dalam karya monumentalnya, Lisanu-l-‘Arab. Sedangkan puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyam atau Shaum –keduanya sama-sama kata dasar dari kata kerja Shaa-ma–, yang secara etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain [Al-Syaukani, 1173-1255 H., Fathu-l-Qadir]. Shiyam atau Shaum merupakan qiyam bila ‘amal, yang berarti ‘beribadah tanpa bekerja’. Dikatakan ‘tanpa bekerja’ karena puasa itu sendiri bebas dari gerakan-gerakan [harakat], baik gerakan itu berupa: berdiri, berjalan, makan, minum dan sebagainya. Sehingga, Ibnu Durayd –sebagaimana dinukil dalam Al-Alusi– mengatakan bahwa segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak, berarti sesuatu itu Shiyam, sedang ber-puasa.
Selain itu, puasa, sebagaimana penulis sebutkan di atas, berarti ‘menahan’ dari sesuatu pekerjaan. Dan ‘sesuatu’ itu telah ditentukan oleh syariat. Dengan begitu, dalam syariat, puasa memiliki pengertian tersendiri. Makna puasa yang “menahan” ini juga terlihat jelas tatkala kita menelusuri sejarah bahasa shiyâm atau Shaum. Ibnu Mandzur, pakar sejarah bahasa Arab yang hampir tiada duanya, dalam hasil pelacakannya atas asal-muasal kata, mendefinisikan Shaum sebagai “hal meninggalkan makan, minum, menikah dan berbicara”. Definisi ini adalah definisi paling asli dan sahih dalam sejarah bahasa Arab.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar